Mas Achmad Santosa: Waspada Potensi Kejahatan dalam Perdagangan Karbon
Jakarta - Perdagangan karbon harus diatur secara tegas oleh negara. Karena ada potensi kejahatan dalam perdagangan karbon yang sedang jadi hot issue ini.
Hal tersebut disampaikan Mas Achmad Santosa, Ahli Hukum Lingkungan yang juga Mantan Plt Pimpinan KPK tahun 2009. Pria yang akrab disapa Mas Otta melihat ada sejumlah modus yang dilakukan para pelaku kejahatan dalam perdagangan karbon. Hal tersebut disampaikan Anggota Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (2009-2011) saat berbincang dengan detikcom pada Senin (13/5/2024).
Perdagangan karbon sedang jadi isu panas belakangan ini. Apa yang membuat perdagangan karbon menjadi primadona sehingga pemerintah perlu menerbitkan aturan yang jelas?
Selama tiga dekade terakhir, pemanasan global telah menjadi isu global yang semakin meningkat. Laporan International Panel for Climate Change (IPCC) secara komprehensif mengkonfirmasi keberadaan pemanasan global dan asal-usulnya yang disebabkan oleh manusia. Laporan IPCC menggarisbawahi pentingnya memperkuat upaya-upaya dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Salah satu upaya penurunan emisi yang banyak dilakukan ialah perdagangan karbon.
Perdagangan karbon menjadi pasar komoditas yang paling cepat berkembang di dunia. Pada tahun 2024, Global Carbon Market Outlook Bloomberg memprediksikan harga di berbagai pasar karbon akan meningkat hingga USD238/ton pada tahun 2050. Dengan target net-zero yang sudah semakin dekat, para pembuat kebijakan semakin memperkuat peraturan untuk memfasilitasi perkembangan pasar karbon, mengatur pasokan (supply) dan memperluas cakupan sektor. Di sisi lain, minat terhadap perdagangan karbon, baik compliance market dan voluntary market, semakin meningkat.
Mengingat perkembangan pasar karbon yang pesat dan sifat kredit karbon sebagai aset yang tidak berwujud (intangible), meningkatkan kerentanan terhadap potensi kejahatan karbon. Oleh karena itu, diperlukan penguatan kerangka hukum serta peningkatan kapasitas aparat penegak hukum untuk mengantisipasi risiko kejahatan karbon yang terjadi di perdagangan karbon.
Bapak menyebut ada kerentanan terhadap potensi kejahatan karbon. Seperti apa modus operandi kejahatan karbon?
Berdasarkan kajian Interpol (Environmental Crime Program 2013), terdapat beberapa jenis kejahatan penipuan karbon pertama penjualan kredit karbon yang bersifat fiktif atau dimiliki oleh orang lain (Sale of carbon credits that either do not exist or belong to someone else). Sifat tak berwujud (intangible) dari kredit karbon memungkinkan pemisahan kepemilikan hak karbon dengan proyek fisiknya. Proyek seperti penanaman pohon, atau dekarbonisasi pabrik, misalnya, mungkin dimiliki dan dikelola oleh satu orang atau perusahaan, sementara orang lain memperoleh hak hukum untuk melakukan perdagangan kredit karbon. Oleh karena itu, risiko korupsi dan penipuan semakin besar karena karbon merupakan aset tidak berwujud yang kepemilikannya dibuktikan hanya oleh selembar kertas atau catatan di register pemerintah. Penipuan juga bisa terjadi oleh pejabat pemerintahan yang memberikan izin mereka untuk melakukan registrasi dengan cara pemalsuan dokumen kepemilikan.
Kedua, manipulasi pengukuran (MRV) untuk mengklaim kredit karbon (Manipulating measurements to fraudulently claim additional carbon credits). Manipulasi pengukuran dan verifikasi (MRV) untuk mengklaim kredit karbon tambahan secara curang terjadi dalam proyek-proyek Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanisms), yang menghasilkan kredit karbon berdasarkan perbedaan emisi yang terjadi dari proyek tersebut dibandingkan dengan skenario biasa. Hal ini memungkinkan pelaku penipuan untuk menggunakan dua cara (pelaporan data yang sengaja dibuat keliru dan analisis yang tidak kredibel oleh pihak yang melakukan pengukuran) untuk memanipulasi pengukuran dan mendapatkan lebih banyak kredit karbon secara tidak sah. Sebagai contoh, mekanisme Additionality3 yang diatur di dalam Pasal 12 ayat 5 huruf c Kyoto Protocol digunakan untuk memberikan kredit karbon kepada proyek yang menurunkan emisi melampaui yang sudah direncanakan (additional). Akan tetapi, penentuan dan pengukuran additionality ini sulit dilakukan, sehingga memungkinkan terjadinya manipulasi.
Ketiga, klaim palsu atau menyesatkan terkait dengan manfaat lingkungan atau keuangan dari investasi pasar karbon (False or misleading claims with respect to the environmental or financial benefits of carbon market investments) Kompleksitas dari pasar karbon, dan fakta bahwa mereka adalah pasar yang baru dikembangkan, sehingga masih terbatasnya pemahaman di antara pedagang dan pembeli. Hal ini telah dimanfaatkan oleh perusahaan, dengan banyak contoh kampanye iklan atau ajakan investasi yang melibatkan klaim yang salah dan menyesatkan.
Modus berikutnya memanfaatkan Kelemahan Regulasi Sektor Keuangan untuk Melakukan Kejahatan (Exploitation of weak regulations to commit financial crimes). Krisis finansial global terkini telah jelas menunjukkan bahwa metode regulasi pasar saat ini rentan terhadap manipulasi seperti penggelapan pajak dan pencucian uang. Hal ini dikarenakan pertumbuhan investasi yang cepat, regulasi hukum yang kurang memadai dan sifat kredit karbon yang tak berwujud (intangible). Kompleksitas pasar karbon yang sulit untuk diatur serta pengaturan yang lemah membuat pasar karbon lebih mudah untuk dimanipulasi. Diperkirakan kredit karbon dapat dihasilkan di suatu negara, dijual kepada pihak di negara lain yang diperdagangkan melalui beberapa bursa karbon sebelum sampai ke tangan pemilik akhir. Semakin banyak negara yang terlibat, semakin sulit untuk melacak asal dan lalu lintas kredit karbon hingga ke pembeli akhir sehingga semakin mudah bagi pihak tertentu mengambil keuntungan dari celah hukum atau peraturan yang berbeda di berbagai yurisdiksi.
Kelima, penipuan Pajak (Tax Fraud) Perdagangan karbon mengalami penipuan pajak yang melibatkan pencurian Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Jenis penipuan ini mengeksploitasi bagaimana PPN diperlakukan dalam perdagangan lintas yurisdiksi. Keuntungan didapat dengan cara membeli karbon di negara yang membebaskan PPN dan kemudian menjualnya ke negara lain dengan memberlakukan harga jual ditambah PPN ke negara yang memberlakukan PPN.
Banyak sekali ya modus operandi para pelaku kejahatan perdagangan karbon. Kalau tidak ada aturan yang baku tentunya banyak modus lain yang bisa dilakukan para pelaku kejahatan ya Pak?
Berdasarkan kajian Interpol (Environmental Crime Program 2013), ada modus Penipuan Efek (Security Fraud) Penipuan efek melibatkan praktik penipuan dalam pasar karbon yang mengarahkan investor untuk mengambil keputusan pembelian atau penjualan kredit karbon berdasarkan informasi palsu. Contohnya adalah memanipulasi harga kredit karbon hingga penggelapan efek/saham. Juga ada manipulasi penetapan harga transfer (Transfer Mispricing) Praktik perdagangan antara dua pihak terkait dengan harga buatan (artificial prices) untuk tujuan penghindaran pajak. Misalnya, perusahaan induk dan anak perusahaan atau dua anak perusahaan yang dikendalikan oleh induk yang sama secara sengaja mengubah harga perdagangan untuk meminimalkan total tagihan pajaknya.
Selain itu ada modus Pencucian Uang (Money Laundering) Pencucian uang adalah segala tindakan untuk menyembunyikan atau menyamarkan identitas hasil yang diperoleh secara ilegal agar terlihat berasal dari sumber yang sah. Dana yang diperoleh secara ilegal dicuci menggunakan entitas untuk menyamarkan pemilik uang yang sebenarnya, dan kemudian dipindahkan ke seluruh dunia menggunakan perantara dan pengirim uang. Dengan cara ini, dana ilegal tetap tersembunyi dan diintegrasikan ke dalam bisnis yang sah.
Pelaku juga bisa melakukan kejahatan internet dan peretasan komputer untuk mencuri kredit karbon (Internet crimes and computer hacking to steal carbon credits) Di bawah mekanisme Kyoto Protocol, register nasional telah dibentuk untuk melacak semua kredit karbon. Perdagangan terjadi di registri nasional dengan mentransfer unit dari akun penjual ke akun pembeli. Setiap register terhubung ke Log Transaksi Internasional, yang memverifikasi transaksi register. Namun, kelemahan dalam keamanan internet dari register ini telah dimanfaatkan oleh para penjahat untuk mencuri kredit karbon. Sifat elektronik kredit karbon dan register mereka membuat pasar perdagangan karbon menjadi rentan terhadap kejahatan teknologi seperti peretasan.
Juga ada modus Penipuan/Pencurian informasi pribadi atau pencurian identitas (Phishing/Theft of personal information or identity theft) Para penjahat juga telah mengidentifikasi peluang untuk menggunakan pasar karbon yang ada untuk mencuri informasi pribadi dari pelanggan dan investor, seperti nama pengguna, kata sandi, dan rincian bank. Informasi ini kemudian dapat digunakan untuk mentransfer uang dan/atau kredit karbon secara ilegal. Salah satu cara khusus di mana pencurian identitas ini terjadi adalah yang dikenal sebagai phishing. Phishing adalah suatu keadaan di mana seseorang membuat situs web palsu, yang tampilannya hampir identik dengan yang sah.
Lantas apa upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mengatasi penipuan karbon?
Berdasarkan jenis-jenis kejahatan penipuan karbon, terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan antara lain: meningkatkan kesadaran dan memperkuat kapasitas lembaga pemerintah dan penegak hukum, termasuk dengan menyelenggarakan beberapa pertemuan yang mengumpulkan regulator dan ahli untuk melakukan analisis strategis terhadap pasar karbon yang ada dan sedang berkembang untuk mengidentifikasi risiko munculnya kejahatan; Melibatkan komunitas penegak hukum dan regulasi dalam desain platform perdagangan karbon, serta memberikan saran tentang reformasi hukum yang diperlukan untuk menghindari celah dan memastikan bahwa regulasi perdagangan karbon konsisten antara yurisdiksi yang berbeda, praktis, dan dapat ditegakkan; Meningkatkan koordinasi dan saluran komunikasi antara penegak hukum untuk berbagi informasi tentang perdagangan kredit karbon.
Juga perlu meningkatkan keamanan internet dalam proses perdagangan karbon untuk mencegah peretasan komputer; meningkatkan transparansi dalam transaksi keuangan yang dilakukan di bursa perdagangan karbon; dan menetapkan pedoman yang jelas tentang penentuan keberadaan additionality, dan prosedur untuk memastikan bahwa proses pengukuran, metodologi, dan perhitungan pengurangan emisi dilakukan secara transparan dan mudah diverifikasi, termasuk penggunaan indikator atau jenis data yang sulit dimanipulasi, terdefinisikan secara jelas, dan mudah diverifikasi secara objektif.
Selain itu perlu menetapkan kerangka hukum untuk: memperjelas kewenangan antar lembaga terkait dengan pengawasan dan penegakan hukum karbon, menetapkan kriteria data atau informasi (autentik, lengkap, dan akurat) dalam perdagangan karbon. Juga diperlukan penetapan sanksi denda administrasi/denda pidana dan pembekuan izin usaha terhadap ketidaktaatan dan pemalsuan data.
Bagaimana peraturan hukum di Indonesia mengenai kejahatan karbon?
Perpres No. 98/2021 telah mengatur terkait sanksi administratif terhadap pelanggaran prosedural perdagangan karbon. Akan tetapi, Perpres No. 98/2021 tidak mengatur terkait pelanggaran tindak pidana perdagangan karbon dikarenakan Peraturan Presiden tidak dapat memuat pengaturan ancaman hukuman pidana. Penyelenggaraan bursa karbon di Indonesia telah diatur salah satunya di dalam POJK No. 14 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Bursa Karbon.
Akan tetapi, peraturan tersebut masih belum cukup memadai untuk mengantisipasi kejahatan terkait perdagangan karbon, antara lain: Ketidakjelasan pengaturan terkait definisi kejahatan karbon, seperti pencucian uang, manipulasi dan penipuan kredit karbon, pemalsuan dokumen/informasi terkait kredit karbon, atau korupsi dalam konteks transaksi karbon. Hal ini menyulitkan dalam proses identifikasi dan pelaporan kasus-kasus yang terjadi. Tidak ada kewajiban yang diatur bagi penyelenggara bursa karbon untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh atau due diligence terhadap para pelaku pasar, baik pembeli maupun penjual kredit karbon, untuk memastikan mereka tidak terlibat dalam aktivitas ilegal atau mencurigakan. Dikarenakan ini merupakan Peraturan OJK, sehingga peraturan ini tidak dapat memuat sanksi yang tegas untuk pelaku pasar yang terbukti terlibat dalam kejahatan karbon seperti pencucian uang, yang seharusnya mencakup denda, pembekuan aset, atau tindakan pidana lainnya.
Perpres 98/2021 ataupun POJK No. 14 Tahun 2023 belum mengatur tentang koordinasi dalam hal pertukaran informasi dan koordinasi untuk pengawasan serta penanganan kasus kejahatan dalam transaksi karbon antara KLHK sebagai National Focal Point dalam pengendalian perubahan iklim, penyelenggara bursa karbon, lembaga keuangan, perbankan, dan penegak hukum. Ketiadaan pengaturan secara jelas mengenai siapa yang bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum (kecuali tindak pidana perpajakan) terhadap dugaan kejahatan lainnya dalam transaksi perdagangan karbon seperti penipuan, pemalsuan, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, yang dapat terjadi baik di tingkat nasional maupun lintas negara.
Kesimpulannya, apa syarat mutlak perdagangan karbon boleh dilakukan di Indonesia?
Apabila perdagangan karbon akan dilaksanakan di Indonesia, baik jenis compliance market maupun voluntary carbon market, maka keterlibatan negara yang diwakili oleh Pemerintah perlu dilakukan berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang memandatkan penguasaan negara atas sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini sejalan dengan pengaturan Pasal 6 Perjanjian Paris yang memberikan keleluasaan bagi negara pihak untuk mengatur terkait otorisasi atas kredit karbon yang ditetapkan sebagai capaian NDC. Lebih lanjut, Pasal 1 angka 22 Perpres No. 98/2021 tentang NEK juga menegaskan bahwa hak atas karbon adalah penguasaan karbon oleh negara.
Pasal 6 Perjanjian Paris, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 1 angka 22 Perpres No. 98/2021 memiliki kesamaan, yakni memberikan jaminan kedaulatan negara dalam pengelolaan sumber daya alamnya, termasuk karbon. Besarnya potensi terjadinya tindak pidana perdagangan karbon semakin memperkuat argumentasi diperlukannya kehadiran dan penguatan peran negara untuk memastikan tidak terjadinya tindak kejahatan dalam perdagangan karbon sebagaimana terjadi di negara-negara lain di dunia. 3. Negara-negara lain, termasuk EU, Amerika Serikat, Australia, China telah memiliki kesadaran terhadap risiko kejahatan dari perdagangan karbon. Oleh karenanya, mereka telah mengembangkan berbagai perangkat hukum untuk mencegah ataupun menanggulangi kejahatan karbon yang dimaksud.
Salah satu contoh, di China terdapat Regulation on The Administration of Carbon Allowance Trading tahun 2024. Selain itu, EU juga memiliki berbagai peraturan yang relevan dan bersifat detail, antara lain: a. Directive on Markets in Financial Instruments (MiFID II) b. Regulation on Markets in Financial Instruments (MiFIR) c. Market Abuse Regulation (MAR) d. Directive on Criminal Sanctions for Market Abuse (CSMAD) e. Anti-Money Laundering Directive (AMLD) f. Capital Requirements Directive and Regulation (CRD IV/ CRR) g. Settlement Finality Directive h. Central Securities Depositories Regulation (CSDR) i. Regulation on OTC Derivatives, Central Counterparties, and Trade Repositories (EMIR - European Market Infrastructure Regulation) j. Short Selling Regulation k. Capital Markets Union (CMU)
Ada rekomendasi khusus kepada pemerintah Indonesia agar kejahatan perdagangan karbon bisa ditanggulangi dengan aturan yang kuat?
Saya rekomendasikan penguatan dan pengembangan regulasi untuk pencegahan dan penanggulangan kejahatan karbon, termasuk pengawasan dan penegakan hukum berdasarkan pemetaan modus operandi kejahatan dalam perdagangan karbon yang terjadi di negara-negara lain di dunia dan potensi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di Indonesia.
Perlu pembagian dan kejelasan fungsi dan kewenangan yang jelas antara K/L dalam aspek berikut: a. Perizinan proyek karbon (carbon project). b. Monitoring, Reporting, Verification (MRV) kredit karbon. c. Pengawasan transaksi karbon di Bursa Karbon. d. Penegakan hukum terkait kejahatan karbon.
Selain itu perlu pengembangan kapasitas sumber daya manusia K/L dan instansi terkait yang terlibat dalam seluruh rangkaian perdagangan karbon untuk mencegah dan mengantisipasi kejahatan karbon. Juga perlunya mengaktifkan kerjasama bilateral dan multilateral di bidang pengawasan dan penegakan hukum untuk mengantisipasi kejahatan karbon antar negara (transnational organized crime). Saat ini, sudah saatnya Indonesia mengembangkan kerjasama strategis dengan Interpol (Environmental and Financial Crime Unit) untuk pengembangan kapasitas pengawas dan apgakkum di Indonesia, untuk mencegah dan menanggulangi dengan cepat kejahatan dalam perdagangan karbon di Indonesia.