MENELUSURI GAMBARAN SAVANA BALURAN DI MASA LALU

Salah satu gambaran savana atau kawasan Baluran di masa lalu yang bisa didapatkan yaitu dari John Joseph Stockdale, yang menceritakan salah satu perjalanan ekspedisinya ke pedalaman Jawa pada tahun 1805 atas perintah Tumenggung Blambangan (Wiroguno), melintasi kawasan Baluran yang ada di jalur Banyuwangi-Ketapang-Banyumati-Sonbourouarou-Panarukan (Stockdale, 2014). Stockdale menggambarkan tutupan vegetasi yang dijumpai di jalur itu sebagai “padang gurun”, dengan jalan setapak yang hampir tidak cukup untuk dilalui satu orang. Kedua sisi jalan dibatasi rerumputan lebat setinggi 9-10 kaki, dimana ancaman bahaya di jalur itu yaitu kemungkinan adanya harimau yang sering bersembunyi di rerumputan dan dapat menyerang tiba-tiba. Luas padang gurun digambarkan dari lamanya waktu untuk melintasinya selama 3 hari. Satwa yang disebut sebagai ancaman yaitu harimau, macan tutul, dan yang paling ditakuti justru banteng. Satwa lain yang juga dijumpai yaitu merak dan kera (Monyet abu-abu) yang digambarkan berjumlah besar (Stockdale, 2014). Laporan perjalanan Loedeboer di areal Baluran pada Nopember 1932 kepada Direktur Urusan Ekonomi (Directeur van Economiche Zaken), menjelaskan bahwa hampir dimana-mana ditemukan jejak banteng, rusa, kijang dan babi hutan. Kerbau liar, merak dan ayam hutan langsung terlihat. Tidak ditemukan jejak harimau atau macan, namun dua kali ditemukan jejak ajag. Selain satu bekas perburuan yang sudah lama, tidak ada jejak atau tanda pemburuan. Loedeboer menyebutkan kawasan ini terdiri dari lahan yang tidak cocok untuk daerah pertanian dengan curah hujan yang sangat sedikit, sehingga dapat dijadikan areal Suaka Margasatwa yang bagus sekali untuk selamanya. Perkiraan satwa banteng yang hidup agak tidak umum, yaitu 50 ekor termasuk anaknya. Loedeboer juga melaporkan mengenai sesuatu hal yang aneh bahwa herbivora di sini hidup dari rumput yang kering putih semua, dan dimana-mana tidak ada sedikitpun rumput yang hijau.

E.W. Clason (1933), juga memberikan gambarannya tentang kawasan Baluran di bagian barat laut kawasan, berkaitan lanskap, fisik habitat, vegetasi dan sejumlah potensi flora- fauna. Sejumlah foto dengan catatan tahun 1929-1932 juga memberikan gambaran visual berkaitan tutupan lahan pada saat itu di beberapa tipe habitat, diantaranya savana, savana - hutan musim dan puncak Gunung Baluran. Vegetasi bagian barat laut kawasan Baluran digambarkan oleh Clason (1933), sebagai dataran yang merupakan daerah berumput dengan hutan yang jarang. Rerumputan memiliki komposisi floristik yang sangat bervariasi. Banyak spesies Andropogon yang membentuk vegetasi. Salah satu yang paling umum yaitu A. amboinicus MERR. (tinggi batangnya lebih dari 2 m, dan Themeda arquens. Pepohonan tumbuh agak lebih padat hanya di lokasi-lokasi tertentu dimana terdapat cekungan-cekungan aliran air, sehingga secara keseluruhan merepresentasikan penampakan hutan galeri. Di dataran yang lebih tinggi, hutan menjadi lebih rimbun, sampai akhirnya di gunung yang sebenarnya, padang rumput hilang dan tutupan lahan sepenuhnya berupa hutan. Pada musim kemarau, rumput dan kayu tipis terbakar secara teratur, dan tidak diragukan lagi ini yang membuat pertumbuhan pohon dan perluasannya menjadi sulit. Tampaknya tidak mungkin, bahwa jika kebakaran demikian tidak terjadi, seluruh area secara bertahap akan ditutupi dengan hutan yang lebih lebat. Sedikit gambaran iklim pada saat itu juga dijelaskan oleh Clason (1933), bahwa vegetasi sangat bervariasi sepanjang tahun. Pada akhir Juni semuanya mulai layu. Dari Juli hingga November lanskap memberikan kesan musim dingin. Hujan pertama biasanya jatuh pada bulan Desember.

Rumput kemudian akan tumbuh hijau segar, dan tetumbuhan semusim akan mengambil kesempatan untuk menyelesaikan periode vegetasi pendek sebelum rumput mencapai perkembangan penuhnya. Saat itu, orang akan mendapatkan kesan musim semi, setelah semuanya tumbuh dewasa berdiri tegak bersama rerumputan dan semua pohon berdaun penuh. Pertumbuhan optimum demikian dimulai akhir Januari hingga pertengahan Mei. Pada komposisi vegetasi, sejumlah jenis disebutkan oleh Clason (1933) sebagai jenis “khas”, yaitu pilang (Acacia leucophloea), lontar atau siwalan (Borassus flabellifer), dan krasak (Ficus superba). Di bagian yang lebih datar, di mana tanah hitam yang kedap air menunjukkan retakan beberapa meter di musim timur dan di musim hujan memperoleh struktur yang sangat buruk karena drainase yang sulit, vegetasi rumput lokal menjadi langka dengan hutan tipis Zizyphus Jujuba dan di bawahnya Ipomoea heterophylla. Pada hutan yang lebih subur, jumlah spesies pohon meningkat dan tumbuhan bawah juga menjadi lebih kaya. Di tepi lahan terbuka, beberapa Malvacea besar berbunga kuning mendominasi (Abutilon indicum dan Thespesia lampas). Hampir setiap tahun tanaman ini terbakar habis, dan kemudian setelah hujan turun, dalam waktu singkat membentuk batang lignifikasi hingga tiga meter, yang kulitnya mengandung serat yang sangat baik. Di tempat- tempat yang lebih lembab ditemukan pakis tanah kecil, Ophioglossum reticulatum, Rauwolfia serpentina, Leea rubra, dan semak memanjat duri tajam mengarah ke bawah (Harrisonia paucijuga). Selain rerumputan, ditemukan juga Tacca leontopetaloides, berbagai jenis Commelinaceae seperti Commelina paleata dan Cyanotis cristata, Desmodium spp., Gomphostemma phlornoides dan banyak tanaman herba lainnya. Pada hutan djati banyak dijumpai bercampur dengan pohon-pohon lain, termasuk Butea monosperma.